M.Suprihadi, www.Kompas.com
Kalau saja Bung Karno masih ada, mungkin ketertinggalan ini tidak terjadi. Bayangkan, ketika di Jakarta pembangunan monorel saja masih diperdebatkan akibat belum ada kepastian soal sumber dana, di India, sebuah negeri yang selalu disebut-sebut oleh Bung Karno, hampir semua kota besarnya sudah membangun jaringan kereta bawah tanah (subway) atau Metro alias mass rapid transit.
Sampai tahun 1990-an, dunia masih memandang sebelah mata kepada India, sebuah negara miskin dengan penduduk satu miliar lebih yang penuh bencana. Kecelakaan kereta api, banjir, dan badai adalah berita-berita dari India yang sering kita baca, lihat, atau dengar. Begitu juga dengan kemiskinan penduduknya yang sepertinya berada di mana-mana.
Salah satu berita negatif yang juga sering menjadi bahan pemberitaan adalah polusi kotanya. New Delhi, misalnya, disebut-sebut sebagai kota terpolutif di dunia.
Namun, sekarang dunia memandang India dengan terkagum-kagum. Negeri dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia setelah China itu kini disebut-sebut sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa. Ketika banyak negara, termasuk Indonesia, terpuruk, India justru sedang gencar membangun.
Kota New Delhi yang dulu polutif sekarang udaranya relatif bersih dengan taman luas dan pepohonan hijau hampir di seluruh pelosok kota. Lalu lintas kini tidak macet lagi meskipun bus-bus dan kendaraan umum yang mengangkut puluhan ribu penumpang setiap hari kondisinya tak lebih dari Jakarta.
Kebijakan pemerintah yang Ć¢€memaksaĆ¢€ semua kendaraan umum menggunakan bahan bakar gas jenis compressed natural gas memberi sumbangan besar pada kebersihan udara New Delhi.
Selain itu, pengoperasian angkutan massal berbasis rel yang sebagian besar melintas di bawah tanah (subway) juga sangat membantu terciptanya kebersihan udara. Kini warga New Delhi lebih suka menggunakan jaringan kereta yang disebut Metro untuk bepergian ke kantor, sekolah, berekreasi, atau berbelanja.
Anuj Dayal, Kepala Humas Delhi Metro Rail Corporation Ltd (DMRC), operator Metro Delhi, menyatakan dengan bangga, setiap jam Metro mampu mengangkut 80.000 penumpang atau setara dengan 10.000 bus.
Keberhasilan New Delhi membangun jaringan Metro itu kini diikuti kota-kota lain di India. New Delhi sendiri masih terus mengembangkan jaringan Metro dari tiga jalur yang sekarang sudah dioperasikan menjadi delapan jalur pada tahun 2021.
Kalkuta sekarang sudah punya satu jalur, sedangkan kota-kota lain seperti Bangalore, Hyderabad, Chennai, Mumbai, dan Ahmedabad segera menyusul. Ketika Kompas berada di India bulan Juni lalu, misalnya, Perdana Menteri India Manmohan Singh sedang meresmikan peletakan batu pertama pembangunan Metro di Bangalore.
Dibangun mulai tahun 1998, Metro Delhi kini sudah terbangun tiga jalur dari delapan yang direncanakan selesai pada tahun 2021 saat India menjadi tuan rumah Commonwealth Games.
Ketiga jalur yang sekarang sudah dioperasikan adalah jalur merah (Sadhara-Rithala), jalur kuning (Vishwavidyalaya-Central Secretariat), dan jalur biru (Barakhamba Road-Dwarka).
Jalur merah panjangnya 22 kilometer (km), sama sekali tidak ada yang di bawah tanah kecuali stasiun. Sepanjang 4,5 km dibangun di permukaan tanah dan 17,5 km sisanya merupakan jalur layang (elevated) dengan ketinggian umumnya 10 meter.
Sebaliknya, jalur kuning yang panjangnya 11 km semuanya merupakan jalur di bawah tanah. Sedangkan jalur biru yang panjangnya 32,1 km terdiri dari jalur bawah tanah (2,17 km) dan jalur layang (29,93 km).
Mengingat besarnya dana yang diperlukan (sampai selesainya ketiga jalur itu atau pembangunan tahap 1 sudah dikeluarkan 21 miliar dollar AS), pembangunan Metro Delhi dilakukan secara bertahap, tetapi titik tujuan akhirnya jelas, dan secara konsisten pemerintah terus mengerjakan proyek itu.
Jalur merah, misalnya, adalah jalur yang pertama kali dioperasikan pada 24 Desember 2002. Waktu itu, panjang jalur baru 8,5 km dari Shandara ke Tiz Hazari (enam stasiun), di antaranya melintang di atas Sungai Yamuna yang legendaris itu.
Selanjutnya, pada 3 Oktober 2003 diresmikan pengoperasian seksi dua dari Tiz Hazari ke Inder Lok sepanjang 4,7 km. Seksi tiga dioperasikan 31 Maret 2004 dari Inder Lok ke Rithala (8,8 km).
Jalur kuning sepanjang 11 km, dan semua di bawah tanah, dibangun dalam dua tahap. Pada 19 Desember 2004 diresmikan pengoperasian jalur Vishwavodyayala-Kashmere Gate sepanjang 4 kilometer. Sedangkan jalur sisanya dioperasikan pada 2 Juli 2005. Seluruh jalur ini berada di bawah tanah pada kedalaman 10 meter.
Pembangunan jalur biru baru dimulai Juni 2003, tetapi hanya dalam dua setengah tahun jalur ini sudah selesai semua (22,79 km). Yang menarik, jalur ini 100 persen dikerjakan oleh para teknisi India sendiri. Kereta yang dioperasikan di jalur biru juga produk India (Barath Earth Movers Ltd, Bengalore), bukan produk Korea seperti pada jalur kuning dan merah.
Berbeda dengan Jakarta yang lebih senang menswastakan setiap kegiatan pembangunannya, dalam membangun infrastruktur transportasi massal itu India tidak menyerahkannya kepada swasta. Untuk itu, pemerintah pusat dan pemerintah kota bersama-sama mendanai pembangunan megaproyek tersebut.
Menurut Anuj Dayal, DMRC sebagai operator Delhi Metro berkewajiban mengembalikan investasi pembangunan. Ia hanya diwajibkan merawat jalur dan memelihara/menambah kereta.
Dengan pola seperti itu, DMRC tetap untung meski tarif yang diberlakukan untuk penumpang Metro sangat murah, 6 rupee (Rp 1.200) hingga 22 rupee (Rp 4.400). DMRC sendiri adalah sebuah perusahaan yang dimiliki Pemerintah Kota New Delhi.
Menurut Dayal, pembangunan infrastruktur transportasi massal seperti Metro itu memang tidak mungkin diswastakan. Biaya yang diperlukan sangat mahal. Kalau swasta, tarifnya menjadi sangat mahal, katanya.
Kenapa tidak membangun monorel yang lebih murah? Menurut dia, monorel yang termasuk light rail transit tidak akan mampu mengatasi ancaman serius kemacetan di New Delhi. Ini mengingat daya angkut monorel sangat terbatas.
Lalu apa yang didapat pemerintah dengan membangun Metro yang sangat mahal itu?
Menurut Dayal, keuntungannya bisa didapat dari kompensasi atas menurunnya pencemaran udara sampai 30 persen, pengurangan subsidi bahan bakar 110 juta dollar AS per tahun, menurunkan tingkat kecelakaan sampai 30 persen, dan masih banyak lagi, misalnya penghematan waktu perjalanan masyarakat, peningkatan produktivitas, dan perbaikan kualitas hidup masyarakat.
Satu hal yang bisa dipetik dari pengalaman India, yaitu untuk urusan layanan publik seperti Jakarta Metro System yang akan dibangun maupun monorel yang masih juga belum jelas kelanjutannya, pemerintah mestinya tidak ragu-ragu. Pemerintah mungkin harus membangun sendiri fasilitas publik itu untuk selanjutnya dikelola badan usaha milik daerah atau swasta yang bertanggung jawab.
Ini mengingat keuntungan atas hadirnya transportasi massal tidak semata-mata diukur dari keuntungan usaha operatornya. Perbaikan kualitas udara dan penghematan subsidi bahan bakar minyak adalah keuntungan lain yang bisa dikompensasikan untuk mengembalikan investasi.
Hal lain yang juga bisa menjadi pertimbangan adalah tidak melibatkan swasta dalam pembangunan infrastrukturnya. Soal dana, bisa diambil dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah, ditambah pinjaman pemerintah.
Dengan sosialisasi yang baik, kiranya rakyat pun bisa memahami bahwa ada sejumlah pembangunan yang tertunda karena proyek raksasa itu. Syaratnya hanya satu, rakyat yakin bahwa proyek selesai pada waktunya dan dananya tidak dikorupsi....
Thursday, 7 December 2006
Mestinya Kita Malu kepada India
Posted by
Hery Martono
at
12:28